Jakarta, Indonesia – Bursa Asia dibuka beragam pada perdagangan Senin (12/4/2021), setelah indeks saham Amerika Serikat (AS) Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan S&P 500 mencatat rekor penutupan tertinggi pada perdagangan akhir pekan lalu.
Tercatat indeks Nikkei Jepang dibuka menguat 0,36%, Hang Seng Hong Kong dibuka tumbuh 0,32%, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,26%.
Sementara untuk indeks Shanghai Composite China dibuka melemah 0,14% dan Straits Times Index (STI) Singapura terkoreksi 0,26%.
Dalam perkembangan perusahaan, investor akan mengawasi saham Alibaba di Hong Kong setelah regulator China mengenakan sanksi ke perusahaan tersebut dengan denda sebesar 18,23 miliar yuan (U$ 2,8 miliar) yang terindikasi melakukan monopoli di perusahaan raksasa teknologi asal China tersebut.
Baca:Mau Ramadan, Cek Saham-saham Prospek Cuan Hari Ini! |
Beralih ke AS, Bursa saham AS (Wall Street) melesat pada pekan lalu dan membukukan rekor tertinggi sepanjang masa. Ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang akan lebih cepat dari prediksi, serta bank sentral AS (The Fed) yang menegaskan tidak akan merubah kebijakan moneternya dalam waktu dekat membuat Wall Street terus menanjak.
Indeks Dow Jones selama pekan lalu mampu melesat nyaris 2%, sementara S&P 500 lebih tinggi lagi, 2,7%. Indeks Nasdaq memimpin setelah meroket 3,1%.
Khusus pada hari Jumat (9/4/2021) indeks Dow Jones melesat 0,9% ke 33.800,60, yang merupakan rekor penutupan tertinggi sepanjang sejarah. Indeks S&P 500 juga menguat 0,77% ke Rp 4.128,8, yang juga menjadi rekor tertinggi sepanjang masa.
Sementara itu indeks Nasdaq meski memimpin penguatan tetapi masih belum mencetak rekor tertinggi baru.
Tanda-tanda pemulihan ekonomi AS terus bermunculan. Data terbaru yang dirilis pekan lalu menunjukkan indeks harga produsen (producer price index/PPI) meroket 4,2% pada bulan Maret.
Kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi dalam lebih dari 9 tahun terakhir. Selain itu, kenaikan PPI mengindikasikan roda bisnis mulai semakin menggeliat, dan para wirausahawan mulai meningkatkan aktivitasnya.
Baca:Dipimpin Anak Retno Marsudi-Eks OVO, Siapa Bohir Bank Aladin? |
Pertumbuhan ekonomi yang lebih baik juga diprediksi oleh The Fed. Dalam notula rapat kebijakan moneter edisi Maret yang dirilis pekan lalu menunjukkan The Fed menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini menjadi 6,5% dari prediksi sebelumnya 4,2%.
Besarnya revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak diikuti dengan pembaharuan panduan kebijakan yang akan diambil, sehingga menimbulkan tanda-tanya di pasar.
Selain itu, The Fed juga memproyeksikan tingkat pengangguran di akhir tahun nanti sebesar 4,5% dan inflasi berada di 2,2%.
Yang menarik, meski proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi cukup besar, tetapi The Fed tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
Suku bunga 0,25% masih akan dipertahankan hingga tahun 2023, sementara program pembelian aset (quantitative easing/QE, senilai US$ 120 miliar belum akan dikurangi nilainya alias tapering.
Artinya, dengan pemulihan ekonomi AS diprediksi lebih cepat dari prediksi, serta The Fed yang tidak akan merubah kebijakan moneternya tentunya memberikan efek ganda ke pasar finansial.
TIM RISET INDONESIA
Baca:Netflix vs ‘Netflixnya Indonesia’, Siapa Pelanggan Terbanyak? |
[Gambas:Video ]
(chd/chd)