Jakarta, Indonesia – Nilai tukar rupiah pada pekan lalu membukukan pelemahan 8 pekan beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS), padahal indeks dolar AS sedang merosot tajam. Tekanan bagi rupiah masih besar di pekan ini, sebab dolar AS masih unggul segalanya dibandingkan rupiah, tetapi bukan berarti tidak ada peluang bangkit.
Melansir data Refinitiv, sepanjang pekan lalu rupiah membukukan pelemahan 0,34%, sedangkan total pelemahan selama 8 pekan sebesar 4,37%. Mata Uang Garuda kini berada di level terlemah dalam 5 bulan terakhir.
Indeks dolar AS sepanjang pekan lalu anjlok nyaris 1%, tetapi tidak bisa dimanfaatkan rupiah untuk menguat. Dolar AS ternyata masih menjadi primadona pelaku pasar ketika dihadapkan dengan mata uang Asia, termasuk rupiah.
Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis Kamis (8/4/2021) menunjukkan angka untuk rupiah 0,59, naik dari dua pekan lalu 0,45. Artinya, semakin banyak pelaku pasar yang mengambil posisi jual rupiah. Tidak hanya rupiah, pelaku pasar juga mengambil posisi short semua mata uang Asia, dan lebih memilih dolar AS.
Hal tersebut menunjukkan dolar AS unggul segalanya. Tidak bisa dipungkiri, perekonomian AS di tahun ini diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dari prediksi berkat stimulus fiskal dan moneter serta vaksinasi yang dilakukan dengan cepat.
Baca:Fear Index Turun Tajam, IHSG Tembus ke Atas 6.200 Pekan Ini? |
Data ekonomi AS terus menunjukkan pemulihan yang luar biasa. Data terbaru yang dirilis pekan lalu menunjukkan indeks harga produsen (producer price index/PPI) meroket 4,2% pada bulan Maret. Kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi dalam lebih dari 9 tahun terakhir. Selain itu, kenaikan PPI mengindikasikan roda bisnis mulai semakin menggeliat, dan para wirausahawan mulai meningkatkan aktivitasnya.
Di sisi lain, pemulihan ekonomi AS tersebut membuat pelaku pasar semakin berani mengambil risiko yang bisa menjadi keuntungan bagi rupiah. Hal tersebut terindikasi dari penurunan indeks volatilitas (VIX) ke level terendah sebelum virus corona menyerang dunia.
VIX dianggap sebagai indikator ketakutan (fear index), ketika angkanya menurun artinya ketakutan pelaku pasar semakin berkurang. Sementara ketika posisinya menanjak, akan mencerminkan ketakutan para investor dan cenderung menghindari aset-aset berisiko.
Dengan VIX yang kembali ke bawah level 20, atau terendah sejak Februari 2020 lalu, ada peluang investor asing akan kembali mengalirkan modalnya ke negara emerging market yang memberikan imbal hasil tinggi seperti Indonesia. Aliran modal tersebut bisa menjadi tenaga bagi rupiah untuk menguat.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pola Shooting Star dan Stochastic Bearish Divergence Bisa Bantu Rupiah Menguat
Baca:Mau Ramadan, Cek Saham-saham Prospek Cuan Hari Ini! |