Jakarta, Indonesia – Harga emas dunia berbalik merosot pada perdagangan sesi Eropa Senin pekan ini (8/3/2021), padahal di perdagangan pagi sudah cukup jauh ke atas US$ 1.700/troy ons. Pada perdagangan Selasa, penurunan harga emas berlanjut.
Jebloknya harga emas dunia terbilang menarik, sebab stimulus fiskal di Amerika Serikat (AS) yang membawa emas mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada tahun lalu, kini tidak kelihatan (atau belum kelihatan) efeknya.
Melansir data Refinitiv, pada pukul 17:18 WIB Senin lalu, harga emas dunia diperdagangkan di kisaran US$ 1.690,48/troy ons, melemah 0,61% di pasar spot. Padahal, di awal perdagangan harga logam mulia ini sempat menguat 0,77% ke US$ 1.713,91/troy ons.
Harga emas pun masih diperdagangkan di level US$ 1.683,45/troy ons di Selasa kemarin (9/3).
Senat AS pada akhir pekan lalu meloloskan stimulus fiskal jumbo senilai US$ 1,9 triliun yang diusulkan oleh Pemerintah di bawah komando Presiden Joseph ‘Joe’ Biden.
Nilai stimulus tersebut merupakan yang terbesar kedua sepanjang sejarah, sedikit di bawah rekor tertinggi US$ 2 triliun yang digelontorkan Maret tahun lalu oleh pemerintah AS di bawah Presiden ke-45 Donald Trump.
Stimulus fiskal merupakan salah satu bahan bakar utama yang membawa emas mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada bulan Agustus lalu. Rekor harga emas dunia US$ 2.072.49/troy ons dicapai pada 7 Agustus 2020.
Namun, stimulus kali ini emas masih sulit untuk merangkak naik, apalagi melesat. Ada “duet maut” dari sisi fundamental yang membuat emas tidak berdaya.
Baca:Ramalan ‘Ahli Nujum’ Itu Benar, Emas Drop ke Bawah US$ 1.700 |
Dengan cairnya stimulus tersebut artinya jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah, dan secara teori dolar AS akan melemah.
Tetapi nyatanya, indeks dolar AS malah melesat sejak pekan lalu. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut sore ini berada di 92,136, level tertinggi sejak November 2020 lalu.
Emas dunia yang dibanderol dengan dolar AS akan menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya ketika the greenback menguat. Sehingga permintaan berisiko menurun, begitu juga dengan harganya.
Selain itu, dengan cairnya stimulus tersebut maka laju pemulihan ekonomi AS akan terakselerasi, dan inflasi berisiko melesat. Alhasil yield obligasi (Treasury), terus menanjak.
Hingga Senin sore lalu, yield Treasury AS tenor 10 tahun naik 4,54 basis poin ke 1,5994%, masih berada di level tertinggi dalam satu tahun terakhir, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) belum membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.
Treasury sama dengan emas merupakan aset aman (safe haven). Bedanya Treasury memberikan imbal hasil (yield) sementara emas tanpa imbal hasil. Dengan kondisi tersebut, saat yield Treasury terus menanjak maka akan menjadi lebih menarik ketimbang emas. Alhasil, kenaikan yield membuat emas dunia tertekan.
Kenaikan yield Treasury yang dipicu prospek pemulihan ekonomi AS serta kenaikan inflasi membuat pasar keuangan global kembali dihantui oleh tapering (pengurangan program pembelian aset atau quantitative easing) The Fed yang dapat memicu taper tantrum.
“Jika pasar mulai percaya The Fed kehilangan kendali terhadap arah pasar obligasi, semua isu mengenai taper tantrum akan kembali muncul,” kata Art Cahshin, direktur operasi di UBS, sebagaimana dilansir International, Jumat (26/2/2021).
Taper tantrum pernah terjadi pada periode 2013-2015, saat itu indeks dolar AS melesat tajam. Emas saat itu menjadi salah satu korbannya.
NEXT: Duet Maut Teknikal yang Bisa Bikin Emas Jeblok
Baca:OJK Pantau Ketat Saham IPO yang Meroket, Ada Permainan? |